Real Life FPS

First Person Shooter adalah sebuah genre permainan / game yang membuat anda seolah-olah berada dalam sebuah lokasi pertempuran.

Baru-baru ini sebuah startup bernama father.io mengembangkan sebuah aplikasi mobile yang merubah gadget anda menjadi sebuah console game first person shooter.

Apabila dalam game FPS konvensional anda hanya duduk manis di kursi di depan komputer, maka nanti anda akan bermain di taman, di halaman, di lapangan atau di mana saja dimana anda bisa bersama teman-teman bermain layaknya sebuah pertempuran senjata.

Now THIS! Is the future!.

Saya Bukan (Lagi) Blogger

Ada masanya saya adalah seorang blogger. Itu dulu. Dulu sekali. Lalu saya berhenti. Dan saya tidak menyesali keputusan itu.

Dunia sudah berubah, mulai ketika era micro-blogging dimulai, lalu era social media, LinkedIn, Quora, dst, dimana seorang seperti saya lebih bisa menemukan tempat untuk mengaktualisasikan diri.

Perkara anda ngotot mau nge-blog, silahkan. Mau ngotot tidak mau beradaptasi, silahkan. Mau hanyut ke masa lalu, silahkan.

Asal jangan ajak-ajak saya lagi.

Shame

Malu. Itulah perasaan seorang guru bila anak didiknya tidak mampu menulis sendiri. Tugas seorang guru adalah mendidik. Maka seorang guru harus bersikap tegas kepada murid yang mengambil jalan singkat.

Pengetahuan itu dipelajari, bukan mengambil karya orang lain yang sudah susah payah ditulis lalu dengan seenaknya kita letakkan di blog kita, tanpa ijin, tanpa memberi atribusi.

Hermeneutika

Disclaimer : Penulis tidaklah memiliki pendidikan formal di bidang keagamaan, dan Bahasa Arab. Bila terdapat kesalahan penulisan dan penafsiran, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sebagai anak IPA, saya memiliki kekurangan di dalam hal mengarang cerita. Bagi saya bukti empiris jauh lebih meyakinkan daripada seribu macam analisis, teori konspirasi, apalagi cerita penuh rekayasa dan tipu daya.

Suatu ketika abah H. Muhlas Hasyim MA (Kepala Madrasah Aliyah Al Hikmah 2 Benda), di dalam kajian Tafsir Al-Jalalain, yang dibacakan setiap pagi di Masjid An-Nur, Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Benda, Brebes, pernah membahas sedikit mengenai Hermeneutika, sebuah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang interpretasi atau penafsiran makna.

Tafsir Al-Jalalain sendiri merupakan salah satu wujud dari ilmu Hermeneutika ini. Sebagai anak IPA, saya terbiasa dengan metode pencarian kebenaran lewat pengamatan dan pengukuran. Maka tak ayal lagi Hermeneutika merupakan sebuah subyek yang cukup berat untuk saya. Beruntung bahwa keberadaan saya di Pondok Pesantren ini cukup meringankan beban tersebut.

Istilah Hermeneutika sendiri dikenal pertama kali dalam tulisan Peri Hermeneias, sebuah karya Aristoteles, yang membahas mengenai dasar-dasar logika. Di dalam filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah takwil, sebagai kata ganti Hermeneutika, terutama untuk membantu dalam penafsiran ayat-ayat Mutasyabbihat.

Sebagai anak IPA, saya faham dengan jelas bahwa sebuah teori dan hukum matematika pun tidaklah kekal, akan selalu diperbarui dan dimutakhirkan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia. Saya heran dengan sebagian manusia yang lebih suka menganggap opini dari “small circle” nya sebagai “fakta” yang tidak terbantahkan, sementara catatan dan pengamatan pihak lain dianggap sebagai bentuk penyangkalan, permusuhan, verbal bully, dan usaha eliminasi terhadap keberadaan dari kelompok mereka.

Demikianlah sekelumit pembahasan saya mengenai Hermeneutika, lebih lengkapnya silahkan dibaca di sini.

Untuk mendengarkan pembahasan tafsir Al-Jalalain dari Masjid An-Nur, Pondok Pesantren Al Hikmah 2, anda bisa install aplikasi tune in, atau mendengar secara streaming online di sini setiap pagi jam 06.00 WIB.

 

Sombong

Sebagai anak IPA, maka saya tunduk dan patuh pada prinsip standing on the shoulders of giants, sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa apapun yang kita pelajari dan kuasai pada dasarnya hanyalah meneruskan apa yang sudah ditemukan dan ditetapkan oleh para pendahulu kita.

Pada 15 Februari 1676 bapak Isaac Newton menuliskan di dalam suratnya yang tertuju kepada Robert Hooke, dan di dalamnya beliau menulis :

If I have seen further it is by standing on the shoulders of Giants

Yang berarti bahwa “adapun saya diberi kemampuan untuk bisa melihat lebih jauh, hal itu disebabkan karena saya berdiri di atas pundak para raksasa”. Adapun para raksasa yang dimaksud oleh beliau adalah para peneliti pendahulu seperti Galileo, Phytagoras, Eratostenes, dan seterusnya.

Ini adalah sebuah bukti kerendahan hati dari beliau, yang tetap tidak lupa memberi atribusi kepada para ilmuwan terdahulu di dalam pencapaian beliau yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan alam.

Maka kemudian apa lagi yang bisa disombongkan dari keilmuan kita yang teramat sedikit dan pengalaman kita yang begitu dangkal, dan apapun yang kita kuasai sekarang toh asalnya juga dari pengetahuan yang kita dapatkan dari orang lain?

Seorang alumni Madrasah Aliyah Al Hikmah 2, Brebes, tempat dimana saya dipercaya untuk membagi sedikit ilmu yang saya miliki dengan para siswa madaris, pernah bertanya:

Mengapa setelah mondok beberapa tahun, saya merasa tidak mendapat ilmu sama sekali?

Dan saya pun tertegun. Saya teringat kembali kepada prinsip standing on the shoulders of giants di atas. Untuk mempertinggi tingkat keilmuan yang kita miliki, syaratnya memang harus mendaki pundak para raksasa ilmu pengetahuan, dalam hal ini tentu saja diwakili para guru, para ulama, para kiai, yang tersebar sekian banyaknya di dalam pesantren ini.

Dari mereka itulah kita akan mendapat akses yang sangat besar terhadap ilmu. Tentu saja kita bisa dengan mudah mengakses ilmu lewat internet, toko buku, dan semacamnya, namun apakah sama dengan bertatap muka dan berguru langsung kepada para kiai dan ulama?

Bila demikian mengapa Plato berguru kepada Socrates, dan Aristoteles berguru kepada Plato? Mengapa Stephen Hawking harus kuliah dan belajar di Cambridge? Mengapa banyak orang sukses dan hebat pergi sekolah dan ke pesantren? Lalu mengapa yang sudah sedemikian dekat dengan sumber ilmu malah menyesal dan tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya?

Buat saya pengajian kitab Jalalain itu seperti melihat dan mendengarkan bapak Carl Sagan, memberikan kuliah di depan kelas sambil menulis di papan tulis. Apa yang terucap adalah interpretasi yang memiliki sumber karya klasik Islam, yang ditulis penuh ketelitian dan kehati-hatian.

Jauh lebih baik daripada membaca atau mendengarkan karya-karya orang yang mungkin terkenal dan memiliki pamor, tapi kosong secara keilmuan, dangkal dalam pemahaman, dan terlalu sering membawa persoalan ke luar konteks. Apalagi bila penulis atau orang tersebut lebih fokus kedalam fenomena selebrita, dan sangat bernafsu untuk menjadi tersohor.

Saya sudah mempersiapkan beberapa tulisan ringkasan beberapa materi kajian kitab-kitab yang saya peroleh selama mengabdi di pesantren ini, namun sebelumnya saya minta maaf, karena tidak memiliki latar belakang formal di bidang keagamaan dan bahasa Arab, mohon maklum bila nantinya terdapat kekeliruan penulisan, penerjemahan, dan penafsiran.

So … stay tune … and keep reading my blog …

Untuk referensi yang lebih lengkap mengenai prinsip standing on the shoulders of giants silahkan baca disini.

Fort Minor – Welcome

Fort Minor – walaupun hanya sekedar side project dari Mike Shinoda, namun bisa dibilang fenomenal banget di kancah musik dunia. Saya hapal lagu-lagu dari album Rising Tied dan sekarang Fort Minor merelease single Welcome yang selama beberapa hari ini coba saya hapalkan liriknya.

Lirik Welcome, entah mengapa cocok sekali untuk saya. Mungkin karena lirik dalam lagu ini menceritakan tentang seseorang yang mungkin kadang merasa tidak diterima oleh lingkungan di sekitarnya.

Untuk anda yang mungkin merasakan hal yang sama, bisa mencoba menyanyikan lagu ini.

Akan saya kutipkan beberapa larik dari chorus lagu ini :

I don’t need their blessing now
I don’t need their invitation
Ain’t no way to shut me down
Or to take this path I’ve taken
And maybe I’ve been left out
But never let this be mistaken
They can keep their blessing now
Forget me now
Cause I was never welcome

Atau bila dibahasa Indonesiakan kira-kira begini bunyinya :

Aku tidak butuh restu mereka
Aku tidak butuh undangan mereka
Tidak ada yang bisa menghentikan diriku
Atau mencoba mengambil jalanku
Mungkin mereka sudah berpaling dariku
Tapi jangan pernah salah sangka
Simpan saja restu mereka itu
Lupakan saja
Toh mereka tak pernah menerima kehadiranku

Lebih lengkap mengenai Fort Minor bisa dibaca disini.

Mike Shinoda
Mike Shinoda

Saya merencanakan untuk membuat video cover lagu Welcome. Baru rencana sih …