Sombong

Sebagai anak IPA, maka saya tunduk dan patuh pada prinsip standing on the shoulders of giants, sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa apapun yang kita pelajari dan kuasai pada dasarnya hanyalah meneruskan apa yang sudah ditemukan dan ditetapkan oleh para pendahulu kita.

Pada 15 Februari 1676 bapak Isaac Newton menuliskan di dalam suratnya yang tertuju kepada Robert Hooke, dan di dalamnya beliau menulis :

If I have seen further it is by standing on the shoulders of Giants

Yang berarti bahwa “adapun saya diberi kemampuan untuk bisa melihat lebih jauh, hal itu disebabkan karena saya berdiri di atas pundak para raksasa”. Adapun para raksasa yang dimaksud oleh beliau adalah para peneliti pendahulu seperti Galileo, Phytagoras, Eratostenes, dan seterusnya.

Ini adalah sebuah bukti kerendahan hati dari beliau, yang tetap tidak lupa memberi atribusi kepada para ilmuwan terdahulu di dalam pencapaian beliau yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan alam.

Maka kemudian apa lagi yang bisa disombongkan dari keilmuan kita yang teramat sedikit dan pengalaman kita yang begitu dangkal, dan apapun yang kita kuasai sekarang toh asalnya juga dari pengetahuan yang kita dapatkan dari orang lain?

Seorang alumni Madrasah Aliyah Al Hikmah 2, Brebes, tempat dimana saya dipercaya untuk membagi sedikit ilmu yang saya miliki dengan para siswa madaris, pernah bertanya:

Mengapa setelah mondok beberapa tahun, saya merasa tidak mendapat ilmu sama sekali?

Dan saya pun tertegun. Saya teringat kembali kepada prinsip standing on the shoulders of giants di atas. Untuk mempertinggi tingkat keilmuan yang kita miliki, syaratnya memang harus mendaki pundak para raksasa ilmu pengetahuan, dalam hal ini tentu saja diwakili para guru, para ulama, para kiai, yang tersebar sekian banyaknya di dalam pesantren ini.

Dari mereka itulah kita akan mendapat akses yang sangat besar terhadap ilmu. Tentu saja kita bisa dengan mudah mengakses ilmu lewat internet, toko buku, dan semacamnya, namun apakah sama dengan bertatap muka dan berguru langsung kepada para kiai dan ulama?

Bila demikian mengapa Plato berguru kepada Socrates, dan Aristoteles berguru kepada Plato? Mengapa Stephen Hawking harus kuliah dan belajar di Cambridge? Mengapa banyak orang sukses dan hebat pergi sekolah dan ke pesantren? Lalu mengapa yang sudah sedemikian dekat dengan sumber ilmu malah menyesal dan tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya?

Buat saya pengajian kitab Jalalain itu seperti melihat dan mendengarkan bapak Carl Sagan, memberikan kuliah di depan kelas sambil menulis di papan tulis. Apa yang terucap adalah interpretasi yang memiliki sumber karya klasik Islam, yang ditulis penuh ketelitian dan kehati-hatian.

Jauh lebih baik daripada membaca atau mendengarkan karya-karya orang yang mungkin terkenal dan memiliki pamor, tapi kosong secara keilmuan, dangkal dalam pemahaman, dan terlalu sering membawa persoalan ke luar konteks. Apalagi bila penulis atau orang tersebut lebih fokus kedalam fenomena selebrita, dan sangat bernafsu untuk menjadi tersohor.

Saya sudah mempersiapkan beberapa tulisan ringkasan beberapa materi kajian kitab-kitab yang saya peroleh selama mengabdi di pesantren ini, namun sebelumnya saya minta maaf, karena tidak memiliki latar belakang formal di bidang keagamaan dan bahasa Arab, mohon maklum bila nantinya terdapat kekeliruan penulisan, penerjemahan, dan penafsiran.

So … stay tune … and keep reading my blog …

Untuk referensi yang lebih lengkap mengenai prinsip standing on the shoulders of giants silahkan baca disini.

Leave a Reply

4 thoughts on “Sombong”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *