Utamakan Keaslian

tampar

Meme Blogger Tukang Copas (By Isnan)

Menulis memang bukan hal yang mudah bagi semua orang. Untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bagus, seseorang harus berlatih dan belajar terus-menerus hingga akhirnya mencapai kualitas yang diharapkan.

Sebagai guru saya mengharapkan adanya sebuah proses belajar dari siswa-siswa saya. Ibarat belajar naik sepeda maka wajar bila sekali waktu kita jatuh. Namun seiring waktu, setiap kali kita jatuh, maka setiap kali itu pula kita menjadi lebih baik.

Saya tidak rela bila murid-murid saya nantinya berkembang menjadi penulis atau blogger kejar setoran, kuantitas haruslah diimbangi dengan kualitas.

Sebagai guru saya percaya dengan kemampuan murid saya. Bila mereka sekarang tidak mampu, maka besok mereka akan menjadi lebih baik.

Jawablah tamparan ini dengan tulisan berkualitas. Kamu mampu.

So Called Online Era

Ada yang begitu berbangga dengan sebutan “Generasi Online”. Mungkin yang dimaksud adalah “Generasi Yang Malah Terputus Dengan Orang-orang di dekatnya”.

So called online generation ini petentang-petenteng bawa gadget dan merasa mereka tahu semuanya. Rasanya jadi gak penting kalau sehari saja “tidak online”.

Let me tell you something. World Wide Web, atau mungkin yang kamu sebut internet itu, sebenarnya tidak lebih dari 10% dari apa yang disebut “The Deep Web”.

Apalagi cuman Facebook, Twitter, Instagram, dan …. hah? Blog?

Tapi ya tidak mengapa, anak kemarin sore yang baru tahu internet, menatap saya dengan muka tengadah dan pandangan miring, “oh, ini toh yang namanya mas Isnan”.

Iya, saya Isnan, dan saya gak ngerti apa-apa soal internet, perkara saya punya pengalaman bekerja di lingkungan yang terhubung langsung ke “internet backbone” itu tidak usah dianggap ya bocah.

Tetaplah tengadah, tetaplah pongah dan pandanglah semua orang dengan pandangan miring, tudinglah semua orang dengan dugaan konspirasi, itu bekal nomor satu untuk jadi sukses kok.

Bukan Sebuah Tips Sukses

Saya bukan orang sukses. Maka saya tidak akan membual dengan memberikan tips apalagi filosofi sukses dan karir. Namun bila anda ingin membaca tentang tips sukses berkarir, silahkan baca link ini.

Karena bukan orang sukses, maka saya bisa memberikan caranya agar tidak sukses.

Contohnya: kalau anda blogger, maka cara untuk menjadi tidak sukses yang pertama adalah copas tulisan milik orang lain.

Sekian.

Saya Bukan (Lagi) Blogger

Ada masanya saya adalah seorang blogger. Itu dulu. Dulu sekali. Lalu saya berhenti. Dan saya tidak menyesali keputusan itu.

Dunia sudah berubah, mulai ketika era micro-blogging dimulai, lalu era social media, LinkedIn, Quora, dst, dimana seorang seperti saya lebih bisa menemukan tempat untuk mengaktualisasikan diri.

Perkara anda ngotot mau nge-blog, silahkan. Mau ngotot tidak mau beradaptasi, silahkan. Mau hanyut ke masa lalu, silahkan.

Asal jangan ajak-ajak saya lagi.

Shame

Malu. Itulah perasaan seorang guru bila anak didiknya tidak mampu menulis sendiri. Tugas seorang guru adalah mendidik. Maka seorang guru harus bersikap tegas kepada murid yang mengambil jalan singkat.

Pengetahuan itu dipelajari, bukan mengambil karya orang lain yang sudah susah payah ditulis lalu dengan seenaknya kita letakkan di blog kita, tanpa ijin, tanpa memberi atribusi.

Sombong

Sebagai anak IPA, maka saya tunduk dan patuh pada prinsip standing on the shoulders of giants, sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa apapun yang kita pelajari dan kuasai pada dasarnya hanyalah meneruskan apa yang sudah ditemukan dan ditetapkan oleh para pendahulu kita.

Pada 15 Februari 1676 bapak Isaac Newton menuliskan di dalam suratnya yang tertuju kepada Robert Hooke, dan di dalamnya beliau menulis :

If I have seen further it is by standing on the shoulders of Giants

Yang berarti bahwa “adapun saya diberi kemampuan untuk bisa melihat lebih jauh, hal itu disebabkan karena saya berdiri di atas pundak para raksasa”. Adapun para raksasa yang dimaksud oleh beliau adalah para peneliti pendahulu seperti Galileo, Phytagoras, Eratostenes, dan seterusnya.

Ini adalah sebuah bukti kerendahan hati dari beliau, yang tetap tidak lupa memberi atribusi kepada para ilmuwan terdahulu di dalam pencapaian beliau yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan alam.

Maka kemudian apa lagi yang bisa disombongkan dari keilmuan kita yang teramat sedikit dan pengalaman kita yang begitu dangkal, dan apapun yang kita kuasai sekarang toh asalnya juga dari pengetahuan yang kita dapatkan dari orang lain?

Seorang alumni Madrasah Aliyah Al Hikmah 2, Brebes, tempat dimana saya dipercaya untuk membagi sedikit ilmu yang saya miliki dengan para siswa madaris, pernah bertanya:

Mengapa setelah mondok beberapa tahun, saya merasa tidak mendapat ilmu sama sekali?

Dan saya pun tertegun. Saya teringat kembali kepada prinsip standing on the shoulders of giants di atas. Untuk mempertinggi tingkat keilmuan yang kita miliki, syaratnya memang harus mendaki pundak para raksasa ilmu pengetahuan, dalam hal ini tentu saja diwakili para guru, para ulama, para kiai, yang tersebar sekian banyaknya di dalam pesantren ini.

Dari mereka itulah kita akan mendapat akses yang sangat besar terhadap ilmu. Tentu saja kita bisa dengan mudah mengakses ilmu lewat internet, toko buku, dan semacamnya, namun apakah sama dengan bertatap muka dan berguru langsung kepada para kiai dan ulama?

Bila demikian mengapa Plato berguru kepada Socrates, dan Aristoteles berguru kepada Plato? Mengapa Stephen Hawking harus kuliah dan belajar di Cambridge? Mengapa banyak orang sukses dan hebat pergi sekolah dan ke pesantren? Lalu mengapa yang sudah sedemikian dekat dengan sumber ilmu malah menyesal dan tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya?

Buat saya pengajian kitab Jalalain itu seperti melihat dan mendengarkan bapak Carl Sagan, memberikan kuliah di depan kelas sambil menulis di papan tulis. Apa yang terucap adalah interpretasi yang memiliki sumber karya klasik Islam, yang ditulis penuh ketelitian dan kehati-hatian.

Jauh lebih baik daripada membaca atau mendengarkan karya-karya orang yang mungkin terkenal dan memiliki pamor, tapi kosong secara keilmuan, dangkal dalam pemahaman, dan terlalu sering membawa persoalan ke luar konteks. Apalagi bila penulis atau orang tersebut lebih fokus kedalam fenomena selebrita, dan sangat bernafsu untuk menjadi tersohor.

Saya sudah mempersiapkan beberapa tulisan ringkasan beberapa materi kajian kitab-kitab yang saya peroleh selama mengabdi di pesantren ini, namun sebelumnya saya minta maaf, karena tidak memiliki latar belakang formal di bidang keagamaan dan bahasa Arab, mohon maklum bila nantinya terdapat kekeliruan penulisan, penerjemahan, dan penafsiran.

So … stay tune … and keep reading my blog …

Untuk referensi yang lebih lengkap mengenai prinsip standing on the shoulders of giants silahkan baca disini.

EQUILIBRIUM

Dunia dijalankan dengan hukum sebab akibat yang sederhana. Semua yang terjadi di muka bumi tidak lepas dari hukum aksi dan reaksi. What comes up, must go down. Everything that has a beginning, has an end.

Namun manusia memang makhluk yang susah untuk mengerti. Dia harus melihat dengan matanya sendiri, harus merasakan dengan penderitaannya sendiri, baru dia bisa mengerti.

Lucunya, banyak manusia, bahkan setelah menderita, seolah tidak belajar apa-apa dari kejatuhan dan penderitaannya. Sebagian manusia, lebih suka menyalahkan orang lain, menyalahkan sistem, menyalahkan nasib, dan bahkan menyalahkan Tuhan.

Semua salah, yang benar hanya saya. Teman saya pasti benar, semua yang menyangkal itu adalah salah. Betapa rumit hidup di dalam penyangkalan dan pengingkaran atas kenyataan.

Seorang siswa yang dihukum karena telat mengikuti pelajaran lebih suka menyalahkan keadaan, daripada berusaha bangun lebih pagi, dan bersiap lebih dini.

Seorang santri yang dihukum karena bolos ngaji lebih suka menyalahkan pengurus daripada menyadari bahwa seharusnya dia bisa mengatur waktu lebih baik lagi.

Dan manusia adalah makhluk yang suka hidup di dalam alasan, daripada mencari pemecahan masalah.

Gitar yang tidak berdawai, mana mungkin bisa dipetik. Mana bisa mengiringi lagu Bob Marley yang mengalun pelan di pagi ini.

Kejatuhan Troya

Helen
Helen yang konon dianugrahi oleh Aphrodite untuk memilik paras tercantik di seluruh penjuru Bumi.

Setangguh dan sehebat apapun seorang pria, pada akhirnya bertekuk lutut pula di hadapan seorang wanita.

Pada jaman Yunani Kuno tersebutlah sebuah nama, Paris, pangeran Troya, adik dari Hector, yang tunduk kepada wajah cantik Helen, istri Menelaus, Raja dari Sparta. Paris membawa lari Helen pulang ke Troya, memicu terjadinya perang yang berlangsung sepuluh tahun lebih. Disusul dengan kejatuhan Troya, dan gugurnya pahlawan-pahlawan hebat seperti Achilles, yang namanya abadi dalam puisi-puisi karya sastra epik Yunani.

Kisah lengkap mengenai Perang Troya bisa anda baca di : https://en.wikipedia.org/wiki/Trojan_War

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kekalahan Troya.

Lanjutkan membaca “Kejatuhan Troya”